SITUS BUMIAYU
“Banjir di Hulu” Bumiayu
Sorotan banjir di Bumiayu menjadi fenomena unik ketika daerah hulu mengalami pembengkakan debit air (read: banjir). Apakah itu murni kesalahan manusia atau memang karena perubahan iklim yang semakin trengginas? Mari kita kulik satu per satu sebab-musababnya!
OPINI
Rafiq Prayogo
12/6/20257 min baca


Secara topografis wilayah Bumiayu dan sekitarnya berada di daerah hulu sungai. Di dalamnya dihuni oleh berliter-liter mata air yang mengalir ke permukaan. Banyak sungai-sungai besar di Bumiayu bermula dari pegunungan sekitar yang membentang di sebelah barat kaki Gunung Slamet. Sungai-sungai tersebut kemudian mengalir sampai ke hilir, dan bermuara sampai ke Laut Jawa. Namun sebelum sampai ke Laut Jawa, sungai-sungai yang melintas di Kota Bumiayu, seperti Sungai Keruh dan Sungai Erang, semua menginduk ke Sungai Pemali atau Ci Pamali. Sungai Pemali bisa dikatakan sebagai sungai utama di Kabupaten Brebes, banyak dari sungai-sungai yang ada di Brebes bagian Selatan semua bermuara di Sungai Pemali. Katakanlah Sungai Keruh dan Erang yang bertemu di Desa Kalierang, Kecamatan Bumiayu bermuara di Sungai Pemali, Sungai Pedes dan Glagah yang bertemu di Desa Kutamendala, Kecamatan Tonjong bermuara di Sungai Pemali, Sungai Gunung atau Ci Gunung yang berhulu di Kecamatan Salem juga bermuara di Sungai Pemali. Ditambah lagi anak sungai yang lain, baik kecil maupun sedang, semua menginduk ke Sungai Pemali. Maka tidak mengherankan jika secara toponim atau penamaan desa di wilayah Bumiayu dan sekitarnya banyak sekali menggunakan unsur air, seperti awalan kata “Kali” dan “Ci”, sebut saja Desa Kalierang, Kaliwadas, Cilibur, Cipetung, Kalijurang, dan lain sebagainya.
Sebelum masuk ke pembahasan, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa itu siklus hidrologi. Secara ringkas, siklus hidrologi ialah pergerakan air secara alami dari atmosfer ke bumi dan kembali lagi ke atmosfer yang melalui beberapa tahap. Tahapan tersebut diantaranya seperti evaporasi atau penguapan, dimana air dari laut, sungai atau danau menguap dan naik ke atmosfer. Air-air tersebut kemudian berubah menjadi kristal es kecil dan membentuk awan (kondensasi). Setelah terbentuk awan, air jatuh kembali ke bumi dalam bentuk hujan, salju, atau es (presipitasi). Dari situ, air terserap dan tersimpan ke dalam tanah yang nantinya akan menjadi sumber air bawah tanah melalui tahap infiltasi. Sedangkan air yang tidak terserap, kemudian akan mengalir ke permukaan tanah menuju sungai, danau, atau laut (Runoff). Siklus hidrologi ini sangat berperan penting bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama untuk menjaga ketersediaan air dan mendukung ekosistem. Namun, siklus hidrologi juga bisa terganggu oleh aktivitas manusia dan perubahan iklim, seperti deforestasi, urbanisasi, dan eksploitasi air tanah secara berlebihan. Bila pola dalam tahapan siklus hidrologi terganggu sedikit saja, akan sangat berakibat fatal dan bisa berujung terjadinya bencana alam seperti kekeringan, tanah longsor, dan kebanjiran.
Bila kita kaitkan siklus hidrologi ini dengan fenomena banjir di Bumiayu, ada beberapa pola yang mengganggu keseimbangan siklus. Sehingga distribusi air menjadi tidak merata dan terjadi pembengkakan debit air di daerah hulu. Ketika di daerah hulu yang notabene berada di daerah ketinggian mengalami kebanjiran, pastilah ada sesuatu yang salah. Faktor penyebabnya bisa bermacam-macam, bisa karena perubahan iklim atau benar-benar murni karena ulah manusia. Perubahan iklim yang semakin trengginas membuat curah hujan menjadi lebih ektrem karena atsmosfer menahan lebih banyak uap air. Hal itu disebabkan karena mencairnya es di daerah kutub yang membuat permukaan air laut menjadi naik. Sehingga meningkatkan penguapan air dan mengubah pola presipitasi dalam siklus hidrologi.
Fenomena banjir di Bumiayu disebabkan terutama oleh kiriman air yang besar di daerah hulu sungai yang berada di lereng barat Gunung Slamet. Meningkatnya air dalam jumlah banyak membuat Daerah Aliran Sungai (DAS) tidak kuat menampung. Sehingga air meluap sampai ke jalan dan menggenang pemukiman warga. Luapan air tersebut juga tidak terlepas dari ulah aktivitas manusia. Dimana air yang seharusnya terserap ke dalam tanah dan menjadi sumber air bawah tanah, harus rela terlimpas langsung ke sungai. Hal itu bisa disebabkan salah satunya karena berkurangnya daerah resapan air di wilayah asal. Sejauh yang kita tahu, daerah hulu Sungai Keruh yang terletak di Kecamatan Sirampog telah terjadi deforestasi secara besar-besaran. Terlebih lagi, deforestasi atau penebangan hutan yang dilakukan berada di kawasan hutan lindung. Fungsi hutan lindung sendiri salah satunya ialah sebagai catchmen area atau daerah tangkapan hujan yang berguna untuk menampung air dalam jumlah banyak. Ketika hutan lindung mulai digerogoti, daerah penyangga airpun mulai goyah, daerah resapan air juga berkurang, sehingga mengakibatkan air tidak terserap dan menyebabkan banjir bandang.
Selain itu, faktor lain seperti urbanisasi juga sedikit banyaknya mempengaruhi terjadinya banjir di Bumiayu. Beberapa diantaranya seperti menyempitnya DAS karena banyak dibangun rumah penduduk di daerah pinggiran sungai, tertutupnya permukaan tanah oleh beton atau aspal yang menghalangi air terserap ke dalam tanah, serta maraknya pertambangan galian C di sepanjang aliran sungai-sungai yang melintas di Bumiayu. Adapun bahan material sungai seperti batu besar sangat berguna sekali dalam menahan derasnya laju air. Ketika batu-batu tersebut ditambang, akibatnya laju air di daerah hulu menjadi lebih deras, dan lebih parahnya lagi bisa merubah morfologi dari sungai itu sendiri. Dampak lain dari adanya urbanisasi ialah menumpuknya sampah plastik yang membuat drainase menjadi tersumbat sehingga menghambat aliran air untuk mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dari faktor-faktor tersebut, kiranya bisa kita katakan bahwa sebab-musababnya saling terhubung satu sama lain.
Bila kita narasikan secara sederhana kurang lebih seperti ini bunyinya; hujan yang cukup deras di daerah hulu sungai membuat sebagian desa di wilayah atas tergenang oleh air hujan. Karena hutan sudah dibabat habis, air yang seharusnya terserap akhirnya terlimpas ke permukaan dan langsung menuju Sungai Keruh bagian hulu. Hal itu dibuktikan dengan beberapa video amatir yang memperlihatkan Dukuh Igir Gowok, Desa Dawuhan, Kecamatan Sirampog terendam oleh banjir. Desa Dawuhan merupakan desa tempat dimana hulu Sungai Keruh berada. Air kiriman dari Dawuhan tersebut kemudian mengalir ke bawah dengan kecepatan maksimal, karena batu-batu besar yang berfungsi sebagai “rem air sungai” sudah ditambang. Akibat derasnya laju air, membuat tanggul pembatas antara sungai dengan saluran irigasi jebol, yang mana membuat hampir 90% air Sungai Keruh berbelok arah ke saluran irigasi warga. Kapasitas dari saluran irigasi tidak muat untuk menampung jumlah air dalam jumlah banyak, sehingga air meluap dan menggenangi jalan utama di Dukuh Kweni, Desa Adisana, Kecamatan Bumiayu. Air sungai yang meluap di Dukuh Kweni tersebut kemudian mengalir ke Kali Bogo dan bermuara di Sungai Erang. Dengan kata lain, Sungai Erang dan Sungai Keruh sudah bertemu terlebih dahulu jauh sebelum titik pertemuan mereka yang ada di Dukuh Sawangan, Desa Bumiayu. Pertemuan dua sungai tersebut kemudian mengalir di Daerah Aliran Sungai Erang yang melintasi Desa Kalierang Sungai Bumiayu. Desa Kalierang merupakan desa yang padat penduduk, di kanan-kiri sungainya sudah banyak dibangun rumah penduduk. Di tambah lagi, drainase yang ada di beberapa titik tidak befungsi karena banyaknya sampah yang mengganjal. Karena badan Sungai Erang yang telah menyempit, dan ketambahan air Sungai Keruh sebelum waktunya, membuat air Sungai Erang meluap dan naik ke rumah warga karena tidak muat menampung banyaknya debit air, yang membuat Desa Kelierang mengalami bencana banjir terparah sepanjang sejarah.
Dari paparan narasi singkat tersebut, kita bisa tarik kesimpulan bahwa penyebab utama yang paling kentara dari adanya banjir di Bumiayu ialah jebolnya tanggul pembatas antara saluran irigasi dan Sungai Keruh. Hal tersebut membuat Sungai Keruh berbelok arah ke Desa Adisana dan bertemu dengan Sungai Erang di Desa Langkap. Pertemuan dua sungai inilah yang kemudian menghantam Bumiayu dan menyebabkan banjir. Lebih parahnya lagi jebolnya tanggul bahkan membuat jalan utama di Dukuh Kweni, Desa Adisana dilintasi oleh aliran Sungai Keruh selama beberapa hari. Selain Desa Adisana, desa yang terdampak dari adanya banjir Bumiayu pada tanggal 08 November 2025 ialah Desa Kalierang dan Penggarutan. Yang paling parah ialah Desa Kalierang, yang membuat dusun di beberapa titik terendam oleh aliran banjir, diantaranya Dusun Pendawa, Dusun Pungkuran, dan Dusun Pagenjahan. Bahkan lebih-lebih sampai merenggut satu korban jiwa dari warga Dusun Pendawa, yang terbawa oleh aliran banjir. Selebihya beberapa rumah dan fasilitas umum yang rusak serta banyaknya peralatan rumah tangga yang berharga raib terbawa banjir. Sedangkan di Desa Penggarutan, dampak yang paling dirasakan oleh warganya ialah ratanya Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang membuat hampir semua makam warga setempat tergilas oleh derasnya arus dari Sungai Keruh.
Namun selain dampak yang dirasakan oleh ketiga desa tersebut, imbas dari adanya banjir di Bumiayu kemarin (08/11) juga dirasakan oleh seluruh warga Bumiayu. Yakni hancurnya pipa PDAM yang mengaliri lebih dari seribu perumahan yang ada di Kecamatan Bumiayu. Pipa tersebut rusak karena tergilas oleh derasnya laju Sungai Keruh. Pangkal kerusakannya berada di samping persis tanggul yang jebol di Dukuh Kweni, Desa Adisana. Hancurnya pipa PDAM membuat hampir sebagian warga Bumiayu kesulitan mencari air bersih, dan harus rela mengantri tiap sore untuk mendapatkan air dari truk-truk tangki BPBD (yang setiap harinya selalu keliling untuk menyalurkan air bersih bagi warga yang membutuhkan.)
Dalam sejarahnya, banjir di hulu Bumiayu kemarin (8/11) menjadi yang paling parah yang pernah dirasakan oleh masyarakat Bumiayu. Menurut penuturan orang terdahulu (yang sudah hidup lebih dahulu jauh sebelum kita) pada tahun 1999 juga pernah terjadi banjir yang sama di Bumiayu. Namun dampaknya tidak separah banjir yang sekarang, yang sampai meninggalkan luka traumatis dan was-was khawatir banjir bisa datang lagi jika terjadi hujan deras. Banjir di hulu Bumiayu seolah sedang memperingatkan kita agar selalu waspada mengenai perubahan iklim yang terjadi belakangan ini, serta menjadi cambuk bagi kita untuk terus sadar akan kelesterian lingkungan yang harus dijaga bagi keselamatan anak-cucu kita di masa depan.
Yang paling diketahui dari adanya banjir di Bumiayu kemarin ialah ada sebab-sebab yang tak terlihat kenapa air sungai yang dalam dua dekade ke belakang selalu aman-aman saja, kemudian menjadi liar dan bisa mengancam siapa saja kapanpun. Sebab tersebut ialah yang menjadi topik utama penulisan ini, yakni perubahan iklim yang semakin trengginas. Perubahan iklim membuat curah hujan menjadi ekstrem dan tidak menentu, sehingga cuaca menjadi sulit untuk diprediksi. Sebab kedua yang tak terlihat ialah gundulnya hutan lindung di lereng barat Gunung Slamet Kecamatan Sirampog. Keadaan ini mungkin sudah menjadi rahasia umum bagi masyarakat Bumiayu, namun siapa sangka bahwa kondisi ini jugalah yang paling berperan besar dalam terjadinya banjir di hulu Bumiayu kemarin. Jika keadaan ini terus dibiarkan begitu saja, bencana banjir akan selalu menghantui masyarakat Bumiayu kapan saja, bahkan bisa lebih parah lagi dari apa yang terjadi kemarin.
Sebagai penutup di pengujung tulisan ini, saya akan sedikit menceritakan bagaimana tulisan ini hadir. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan penulis mengenai kejadian banjir kemarin, sehingga harus memutar otak kenapa semua itu bisa terjadi di daerah hulu sungai. Pastilah ada sesuatu yang ganjil ketika Bumiayu yang termasuk daerah perbukitan bisa mengalami banjir sehebat itu. Sesuatu yang ganjil itu ternyata sesuatu yang sebagian orang tidak menyadarinya. Adalah perubahan iklim yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat pesisir tetapi juga bisa menimpa masyarakat pedalaman seperti Bumiayu. Perubahan iklim erat sekali kaitannya dengan pemanasan global yang membuat gletser atau es di kutub mencair sehingga permukaan air laut menjadi lebih tinggi dari wilayah-wilayah pesisir. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti penggunaan emisi karbon secara berlebihan dan meningkatnya efek rumah kaca yang membuat suhu di bumi menjadi lebih panas. Salah satu opsi yang bisa menjadi rival dari itu semua ialah pohon. Penanaman pohon adalah skala priortas dalam memerangi perubahan iklim yang sudah terjadi. Bagi masyarakat Bumiayu penanaman pohon adalah sebuah keharusan, terutama di bagian hutan lindung lereng barat Gunung Slamet. Upaya ini ialah sebagai bentuk mengembalilkan kondisi awal hutan lindung sebagaimana mestinya. Jika ditanya lantas apa yang harus kami lakukan agar banjir seperti kemarin tidak datang lagi? Jawaban sederhananya ialah reboisasi di wilayah hulu sungai yang ada di Kecamatan Sirampog. Upaya ini merupakan upaya mendesak yang harus segera dilakukan, agar Bumiayu dan sekitarnya tetap menjadi daerah yang aman, nyaman, dan asri. Dampaknya memang tidak langsung terasa dalam satu-dua tahun, melainkan di masa yang akan datang ketika anak-cucu kita sudah beranjak dewasa dan menjalani kehidupan dengan penuh kedamaian. Anak-cucu kita di masa depan akan sungguh-sungguh berterimakasih berkat upaya nenek-moyangnya di masa lalu, seraya mengatakan “terima kasih telah menjaga masa depan untuk kami..”
