Maaf Lima Kilo: Potret Investasi melalui Budaya Kondangan

Dimas Indiana Senja

12/14/20256 min baca

Tradisi sebagai Denyut Sosial Bumiayu

Di tanah Bumiayu, tradisi bukan sekadar cerita masa lalu yang digantungkan di paku sejarah. Tradisi adalah sesuatu yang hidup, bergerak, dan bernapas dalam kehidupan masyarakat. Di hampir seluruh kecamatan di wilayah Kabupaten Brebes (Jawa Tengah) bagian selatan—yang lebih akrab disebut Bumiayu, ada adat yang berjalan tanpa suara namun memiliki kekuatan yang tak tergoyahkan, budaya mengembalikan sumbangan kondangan. Tradisi ini tak perlu diumumkan melalui pengeras suara masjid atau disahkan dalam forum resmi. Tradisi ini berjalan melalui ingatan kolektif yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di sini, adat lebih kuat daripada hukum tertulis. Masyarakat hidup dalam ruang sosial yang mengikat melalui kesadaran kolektif. Seolah dunia berputar bukan hanya karena waktu, tetapi karena timbal balik yang dijaga oleh rasa malu sekaligus rasa hormat.

Ketika seseorang datang ke hajatan—entah pernikahan, khitanan, atau acara syukuran lainnya—kehadirannya membawa dua hal: doa dan persembahan. Persembahan itu bisa berupa uang dalam amplop putih, beras yang diikat rapi, atau bahkan seekor ayam kampung yang diserahkan sebagai tanda hormat. Tindakan memberi ini bukan sekadar kebiasaan, tetapi ritual sosial yang mencerminkan keterlibatan seseorang dalam kebahagiaan orang lain. Tradisi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan milik individu semata, melainkan milik bersama.

Namun pemberian itu tidak berhenti sebagai pemberian. Pemberian itu dicatat dengan teliti, seperti kisah yang dituliskan dalam buku harian. Nama pemberi, jumlah uang, waktu pemberian, dan bentuk pemberian ditulis rapi, seolah setiap angka memiliki nyawa sosial yang harus dipertanggungjawabkan kelak. Buku kondangan itu bukan sekadar alat administrasi, melainkan arsip sosial masyarakat. Di sana tersimpan relasi, kenangan, rasa hormat, dan janji yang suatu hari harus ditepati. Catatan itu bukan sekadar angka, tetapi janji kesetiaan sosial dalam bentuk paling sederhana.

Ketika waktu berputar dan pemberi hajatan tiba pada gilirannya menyelenggarakan acara serupa, buku itu dibuka kembali. Nama-nama yang dulu hadir kini dipanggil satu per satu, bukan untuk diminta, tetapi untuk diingat. Jumlah uang yang dulu diberi akan dikembalikan dalam jumlah dan bentuk yang sama, bahkan sering kali lebih. Bagi orang luar, tradisi ini bisa tampak seperti matematika sosial, tetapi bagi masyarakat Bumiayu, tradisi ini lebih menyerupai pertukaran rasa hormat. Balas memberi bukan kewajiban semata, tetapi kehormatan. Dengan membalas pemberian, seseorang menunjukkan bahwa ada upaya menghargai hubungan yang telah terjalin.

Di Bumiayu, ada kebiasaan mengingatkan jumlah kondangan atau sumbangan. Narasi peringatan itu biasanya dituliskan di kertas undangan. Misalnya, “maaf lima kilo”. Artinya, seseorang yang diundang itu pernah diberi kondangan oleh penyelenggara hajatan yang kini mengundang sejumlah beras lima kilo. Kata “maaf” pun diberi tanda petik seolah sebagai sebuah upaya mengingatkan tetapi bernada malu-malu. Seolah kalimat peringatan itu menjadi sesuatu yang penting. Sebagai konsekuensinya, jika seseorang yang diundang tidak mengembalikan dengan jumlah yang sama, akan ada perasaan canggung atau rasa bersalah berkepanjangan.

Tradisi ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya memiliki logika sosial yang rumit. Tradisi ini bekerja seperti roda kehidupan: siapa memberi, ia akan menerima; siapa menerima, ia akan memberi. Hubungan sosial di dalamnya dijaga agar tidak timpang, agar tidak ada rasa hutang hati yang tertinggal. Tidak ada yang ingin menjadi pihak yang memberi terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Dalam logika ini, harmoni muncul melalui keseimbangan timbal balik, bukan melalui keikhlasan yang bebas dari balasan.

Antropolog Marcel Mauss pernah menulis dalam karyanya The Gift bahwa dalam banyak masyarakat tradisional, pemberian tidak pernah benar-benar gratis. Ada roh sosial dalam setiap hadiah yang mengharuskan penerimanya untuk membalas suatu hari nanti. Konsep ini hidup kuat dalam budaya kondangan Bumiayu. Hadiah bukan sekadar materi, tetapi mandat sosial yang mengikat dua orang dalam jaringan timbal balik. Hubungan tidak selesai pada hari pemberian, tetapi justru dimulai dari sana.

Namun tradisi ini juga membawa dinamika emosional. Ada rasa bangga ketika seseorang mampu membalas dengan jumlah lebih besar, tetapi ada pula rasa malu ketika seseorang tidak mampu menepati catatan amplop masa lalu. Dengan demikian, tradisi kondangan bukan sekadar alat penguat hubungan sosial, tetapi juga mekanisme pengatur martabat dan status sosial dalam komunitas.

Agama dan Moralitas Kolektif

Dalam masyarakat Bumiayu yang religius, tradisi kondangan hidup berdampingan dengan nilai-nilai spiritual dan ajaran agama. Islam mengajarkan ta'awun, yaitu saling tolong menolong dalam kebaikan. Banyak yang menafsirkan kondangan sebagai wujud nyata dari ajaran itu. Memberi kepada sesama dianggap sebagai bentuk ibadah, terutama jika dilakukan pada momentum kebahagiaan dan keberkahan. Dalam perspektif ini, kondangan bukan transaksi, tetapi sedekah sosial.

Namun di sisi lain, ada ajaran tentang keikhlasan. Sedekah yang terbaik dalam Islam adalah yang diberikan tanpa mengharap balasan. Di sinilah muncul kerumitan makna, tradisi kondangan berada di garis tipis antara sedekah dan pinjaman sosial. Apakah seseorang memberi karena ingin membantu, atau karena takut tidak tercatat dalam buku adat? Di sinilah agama dan adat saling bersinggungan, bukan untuk saling menggugurkan, tetapi untuk saling menegaskan bahwa manusia hidup bukan hanya sebagai individu beragama, tetapi juga sebagai makhluk bermasyarakat (zoon politicon).

Nilai malu dalam masyarakat—isthihya’ dalam bahasa fikih moral—berperan besar dalam menjaga kelanggengan tradisi ini. Malu dianggap sebagai bagian dari iman, dan di Bumiayu, rasa malu untuk tidak membalas pemberian dianggap sebagai bentuk menjaga martabat diri dan keluarga. Karena itu, tradisi kondangan bukan sekadar mekanisme ekonomi, tetapi wujud etika sosial berbasis rasa.

Selain itu, adat ini juga mencerminkan konsep ukhuwah, yaitu persaudaraan. Dengan saling mengunjungi dan saling memberi dalam konteks hajatan, masyarakat terus memperkuat hubungan sosial dan religius. Kehadiran dalam hajatan adalah bagian dari doa kolektif yang mengikat manusia dalam lingkaran syukur. Kondangan menjadi simbol bahwa kebahagiaan seseorang pantas dirayakan oleh banyak orang, bukan hanya keluarga inti.

Tradisi ini pada akhirnya bukan tentang angka, tetapi tentang keterhubungan. Tradisi ini mengajarkan bahwa manusia tidak hidup sendiri, tetapi dalam jaringan hubungan yang harus dirawat. Dalam perspektif sufistik, hubungan ini mirip dengan konsep hablun minannas, hubungan antarmanusia sebagai jalan mendekat kepada Tuhan. Dengan demikian, tradisi kondangan mengandung nilai religius, meski dikelilingi oleh dinamika sosial-material.

Namun agama juga mengandung kritik halus terhadap praktik ini. Islam mengajarkan bahwa pahala sedekah hilang ketika pemberi mengungkit-mengungkit pemberiannya. Jika dimasukkan dalam perspektif ini, tradisi kondangan bisa dianggap sebagai bentuk amal yang tercatat—bukan dalam kitab malaikat, tetapi dalam buku hajatan. Pertanyaannya kemudian bukan apakah tradisi ini baik atau buruk, tetapi bagaimana masyarakat memahami niat dalam praktiknya.

Pada titik ini, masyarakat Bumiayu menunjukkan kebijaksanaan lokal yaitu niat bisa berlapis. Seseorang bisa memberi karena ingin membantu, ingin menjaga hubungan, atau sekadar mengikuti adat. Semua niat itu sah dalam konteks budaya yang melihat kebersamaan sebagai esensi kehidupan. Tradisi ini bukan sekadar tindakan ritual, tetapi mekanisme moral yang menjaga harmoni sosial.

Kondangan sebagai Ekonomi Gotong Royong

Dalam kacamata ekonomi, tradisi kondangan Bumiayu membentuk sistem finansial informal berbasis solidaritas. Kondangan berfungsi layaknya tabungan sosial jangka panjang. Masyarakat yang hidup dalam realitas ekonomi sederhana melihat tradisi ini sebagai cara merencanakan masa depan. Orang tidak menyimpan uang di bank, tetapi menyebarkan uang melalui kondangan sebagai investasi sosial. Mereka percaya bahwa uang itu suatu hari akan kembali dalam bentuk yang sama atau lebih besar. Sistem ini memungkinkan masyarakat untuk menggelar hajatan besar tanpa perlu meminjam ke rentenir atau lembaga formal yang menuntut bunga.

Dalam perspektif ekonomi moral James Scott, tradisi ini adalah bentuk resistensi terhadap tekanan kapitalisme yang membuat setiap kebutuhan hidup menjadi komoditas. Kondangan adalah cara masyarakat mempertahankan kedaulatan ekonomi komunitas kecil. Di sini, uang tidak hanya memiliki nilai tukar, tetapi juga nilai hubungan. Ekonomi berjalan bukan melalui kompetisi, tetapi melalui siklus timbal balik.

Namun tradisi ini juga memiliki sisi gelap ekonomi. Semakin tinggi standar hajatan di masyarakat modern, semakin besar pula angka kondangan yang harus dipulangkan. Hal ini menciptakan tekanan sosial bagi mereka yang hidup pas-pasan. Ada keluarga yang harus menjual ternak atau meminjam untuk menjaga gengsi ketika nama mereka muncul dalam buku kondangan. Di sini, tradisi yang awalnya menguatkan solidaritas dapat berubah menjadi tuntutan ekonomi yang membebani.

Perubahan sosial modern turut mempengaruhi tradisi ini. Di kota, kondangan mulai bergeser menjadi sekadar amplop sukarela tanpa pencatatan. Namun di Bumiayu, tradisi mencatat dan mengembalikan masih bertahan. Bagi masyarakat lokal, modernitas boleh datang, tetapi adat tidak boleh hilang. Tradisi di sini bukan nostalgia, tetapi identitas. Bukan pula peninggalan kuno yang tersisa, tetapi sesuatu yang diperjuangkan untuk tetap ada.

Dalam perkembangan sosial hari ini, muncul pertanyaan besar: apakah tradisi kondangan akan bertahan di masa depan? Banyak anak muda melihatnya sebagai beban, namun yang lain melihatnya sebagai kekuatan sosial yang harus dirawat. Selama masyarakat masih percaya bahwa kebahagiaan adalah urusan bersama, selama buku kondangan masih dianggap sakral, selama rasa malu dan hormat masih hidup, tradisi ini masih akan bernafas.

Budaya kondangan Bumiayu adalah dialog antara masa lalu dan masa kini, antara adat dan agama, antara ekonomi dan etika, antara individu dan komunitas. Tradisi kondangan mengajarkan bahwa dalam kehidupan, memberi dan menerima bukan dua hal yang terpisah, tetapi dua sisi dari hubungan yang saling mengokohkan. Melalui tradisi ini, masyarakat menjaga kesadaran bahwa manusia hidup bukan untuk sendiri, tetapi untuk saling menguatkan. Dan barangkali, inti filosofis dari budaya ini sederhana, bahwa rezeki akan selalu menemukan jalan pulangnya. Karena di Bumiayu, tidak ada pemberian yang hilang, melainkan hanya menunggu waktu untuk kembali pulang.

Sastronegaran, 2025

Dimas Indiana Senja, nama pena dari KRHAr Dimas Indianto Sastonegoro. Budayawan, Peneliti, dan Dosen UIN Saizu Purwokerto. Founder BCCF (Bumiayu Creative City Forum), Ketua ASFIL (Asosiasi Fasilitator Literasi) Jawa Tengah, Ketua Yayasan Pagar Mataram dan Ketua Yayasan Pusaka Nusantara. Pernah diundang ke UWRF (Ubud Writers and Readers Festival), MWCF (Mandar Writers and Culture Festival), dan BWCF (Borobudur Writers and Culture Festival).